![]() |
| Toxic positivity dapat membuat emosi tertekan.(Foto : Kompas.com) |
CARIFAKTA.COM – Ketika keharusan untuk selalu terlihat bahagia berubah menjadi tekanan yang mengabaikan realitas, kondisi itu dikenal sebagai toxic positivity. Fenomena ini tidak hanya mematikan perasaan alami, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental, hubungan sosial, dan bahkan kesejahteraan fisik seseorang.
“Toxic positivity adalah tekanan terus-menerus untuk berbahagia apa pun situasinya,” ujar terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, Whitney Goodman, dilansir dari Everyday Health, Jumat (28/11/2025). Menurutnya, respons yang terdengar positif justru sering menutup ruang bagi seseorang untuk memvalidasi emosinya sendiri.
Salah satu dampak terbesar toxic positivity adalah dorongan untuk terus menekan emosi negatif. Profesor psikologi dari University of Kentucky, Suzanne C. Segerstrom, menegaskan bahwa menghindari perasaan negatif adalah strategi yang tidak efektif dan cenderung gagal dalam jangka panjang.
Profesor keperawatan dari University of Minnesota, Mary Jo Kreitzer, menggambarkan penekanan emosi seperti mencoba menahan bola pantai di bawah air.
“Suatu saat mereka akan terlepas dan muncul ke permukaan dengan cara yang tidak terduga,” ujarnya.
Penelitian juga mengungkap bahwa kebiasaan menekan emosi dapat meningkatkan stres dan memicu distress emosional, termasuk pikiran bunuh diri pada individu yang sedang menghadapi tekanan berat.
Toxic positivity sering memberi pesan bahwa emosi negatif adalah sesuatu yang salah. Ketika seseorang terus mendengar kalimat seperti “kamu harus tetap positif”, mereka bisa merasa bersalah karena tidak mampu memenuhi ekspektasi tersebut.
“Toxic positivity membuat seseorang merasa bahwa emosinya tidak pantas,” kata Kreitzer. Kondisi ini dapat memicu rasa malu yang mendalam, di mana riset menunjukkan bahwa rasa malu berkaitan dengan berbagai gangguan mental seperti PTSD dan gangguan makan.
Ketika seseorang merasa harus selalu terlihat bahagia, mereka cenderung menyembunyikan sisi asli diri mereka. Emosi negatif yang seharusnya wajar justru dianggap sebagai kelemahan.
Akibatnya, individu kehilangan keberanian untuk menampilkan kerentanan dan kebutuhan emosionalnya, sehingga hubungan sosial menjadi tidak autentik dan memicu beban psikologis lebih besar. DB
