Breaking News

Lonjakan WNI ke Kamboja Picu Kasus Penipuan Online

 

Foto yang diambil pada 15 Oktober 2024 ini memperlihatkan dua pria Indonesia, yang sebelumnya menjadi korban sindikat perdagangan manusia dan dipaksa bekerja sebagai penipu di Kamboja. (Kompas.com)

CARIFAKTA.COM – INTERNASIONAL. Sejak pandemi Covid-19, jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang berangkat ke Kamboja meningkat tajam. KBRI Phnom Penh mencatat lonjakan kedatangan dari 14.564 orang pada 2020 menjadi 166.795 pada 2024—naik lebih dari 11 kali lipat. Data Imigrasi Kamboja juga menyebut 131.184 WNI menetap secara legal dengan izin tinggal 3 hingga 24 bulan.

Namun di balik angka besar itu, bahaya mengintai. Peningkatan jumlah WNI di Kamboja berbanding lurus dengan melonjaknya kasus penipuan online serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Pada tiga bulan pertama 2025 saja, KBRI Phnom Penh menangani 1.301 kasus WNI bermasalah—naik 174 persen dari tahun sebelumnya. Sebanyak 85 persen di antaranya adalah kasus penipuan online, dengan total 1.112 kasus.

Gaji Tinggi Menggiurkan, Risiko Tak Disadari
Adi, bukan nama sebenarnya, adalah satu dari ribuan WNI yang mencoba peruntungan ke Kamboja. Berangkat pada 2023 sebagai streamer untuk perusahaan online, Adi mengakui sejak awal ia bekerja di perusahaan judi online di Sihanoukville. Gaji Rp 12–13 juta per bulan membuatnya bertahan, meski ia merasa pekerjaan itu “hitam” dan penuh dilema moral.

Menurut Beranda Migran, banyak WNI melihat bekerja di luar negeri—termasuk Kamboja—sebagai jalan keluar keterbatasan ekonomi. Kemudahan masuk menggunakan bebas visa 30 hari dimanfaatkan banyak pekerja untuk mengubah status menjadi izin tinggal jangka panjang dan bekerja tanpa prosedur resmi.

Meningkatnya industri judi online di Kamboja, terutama sejak disahkannya UU Perjudian pada November 2020, turut menjadi magnet bagi pekerja asing. Banyak perusahaan beroperasi dengan dua izin: kasino dan game of chance.

Namun di balik gemerlapnya tawaran gaji besar, jebakan penipuan online mengintai. Adi mengaku pernah ditawari pekerjaan scam oleh warga Vietnam. “Bagi orang awam mungkin terlihat menggiurkan,” katanya.

Tidak Semua Beruntung: Kisah Tragis Dody
Nasib tragis dialami Dody (nama samaran), pemuda 24 tahun asal Jawa Barat yang menjadi korban TPPO. Berangkat tanpa sepengetahuan keluarga setelah tergiur tawaran gaji Rp 10 juta, ia justru dipaksa bekerja sebagai scammer. Kondisi kerja ekstrem—jam kerja 24 jam, makanan minim, tempat kerja berpindah-pindah—memperburuk penyakit bawaan.

Keluarga telah menjual harta demi menebus kepulangannya, namun belum cukup. Dody meninggal di Kamboja sebelum sempat pulang. Karena kendala biaya, keluarganya terpaksa merelakan Dody dimakamkan di sana.

“Saya bahkan tidak tahu lokasi pastinya,” ujar ibunya, Lisa, dengan suara pilu.

Kenapa Kasus Terus Meningkat?
Direktur Perlindungan WNI Kemenlu, Judha Nugraha, menyebut Kamboja sebagai negara dengan kasus penipuan online tertinggi yang melibatkan WNI sejak 2020. Pada 2021–Februari 2025, tercatat 7.027 kasus WNI terkait penipuan daring di 10 negara—dan 4.300 di antaranya terjadi di Kamboja.

Menurut Judha, korban datang dari berbagai jalur: ada yang berangkat langsung, ada yang transit dari negara tetangga, dan ada pula yang pindah dari negara lain seperti Filipina setelah penertiban POGO pada 2024.

Korban penipuan online juga bukan lagi kelompok rentan tradisional. Mayoritas adalah generasi Z usia 18–35 tahun, berpendidikan tinggi, dan berasal dari kelas menengah.

“Mereka justru melek digital,” kata Judha.

Fenomena ‘Lapar Kerja’ dan Rekrutmen Sesama WNI
Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo, menyebut fenomena ini sebagai “lapar kerja”—situasi di mana masyarakat rela mengambil risiko ekstrem demi pekerjaan. Ia menilai dua undang-undang terkait TPPO dan perlindungan pekerja migran masih lemah dalam aspek pencegahan, terutama pada kasus pemaksaan melakukan kejahatan digital.

Sementara itu, pengamat Dinna Prapto Raharja menyoroti fakta bahwa banyak perekrut adalah WNI sendiri. “Orang Indonesia makan orang Indonesia,” ujarnya.

Modus rekrutmen kini semakin canggih, tampil profesional, dan meyakinkan, terutama bagi anak muda kelas menengah yang aktif di internet.

Minim Literasi Migrasi Aman
Pengamat internasional Vrameswari Omega Wati menilai rendahnya literasi migrasi aman menjadi akar masalah. Banyak WNI tidak memverifikasi lowongan kerja melalui BP2MI atau Disnaker, pergi tanpa kontrak resmi, dan mudah tergiur janji fasilitas serta gaji besar.

Ia menyarankan kampanye masif di wilayah yang menjadi kantong korban, seperti Medan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. DB

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close