![]() |
| Anggota Komisi E DPRD Sumatera Utara, Meryl Rouli Saragih. (foto: Mistar.id) |
CARIFAKTA.COM – MEDAN. Anggota Komisi E DPRD Sumatera Utara (Sumut), Meryl Rouli Saragih, menegaskan bahwa perempuan merupakan kelompok paling rentan dalam rangkaian bencana yang melanda Sumut sepanjang 2025. Ia mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara segera mengajukan penetapan status bencana nasional kepada pemerintah pusat.
Hal itu disampaikan Meryl saat menjadi narasumber dalam Forum Group Discussion bertema “Feminist Emergency Response: Perlindungan Perempuan dalam Situasi Bencana Sumut” yang digelar IMM Sumut di Gedung Muhammadiyah Medan, Kamis (11/12/2025).
Menurut Meryl, perlindungan perempuan harus menjadi prioritas dalam setiap fase bencana karena beban mereka berlipat ganda, mulai dari kesulitan akses layanan publik hingga meningkatnya tanggung jawab domestik.
“Kerentanan perempuan bukan muncul saat bencana saja, tetapi sudah terbentuk jauh sebelumnya. Ketimpangan sosial, terbatasnya akses layanan publik, dan minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan membuat mereka yang paling rentan ketika struktur sosial runtuh akibat bencana,” ujarnya.
Meryl menyoroti kondisi pengungsian yang dinilainya tidak aman dan tidak ramah perempuan. Ia menyebut toilet campur, minimnya pencahayaan, lemahnya pengawasan, hingga risiko kekerasan berbasis gender yang meningkat.
Layanan yang tidak responsif gender juga masih umum ditemukan, seperti kurangnya pembalut, ruang menyusui, serta keterbatasan layanan kesehatan reproduksi bagi ibu hamil dan menyusui.
“Padahal Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan UU TPKS mewajibkan perlindungan khusus bagi perempuan,” tegasnya.
Sebagai anggota Badan Anggaran DPRD Sumut, Meryl mengungkap adanya efisiensi anggaran penanggulangan bencana yang dilakukan Pemprov. Ia khawatir pemangkasan itu memperburuk kemampuan daerah dalam merespons bencana berskala besar.
Ia menggambarkan kondisi lapangan yang sangat memprihatinkan—akses jalan terputus, evakuasi terhambat, alat berat minim, serta banyak korban belum ditemukan. Bahkan beberapa relawan harus menempuh perjalanan hingga 21 jam untuk mencapai lokasi terdampak.
Meryl menyampaikan sejumlah rekomendasi konkret, antara lain:
-
Menempatkan keamanan perempuan sebagai prioritas utama.
-
Mewajibkan layanan pengungsian yang responsif gender.
-
Menjamin kebutuhan khusus perempuan sebagai standar logistik bantuan.
-
Melibatkan minimal 30% perempuan dalam struktur penanggulangan bencana.
-
Memperkuat basis data kerentanan berbasis gender.
Ia juga menegaskan pentingnya trauma healing yang dilakukan oleh dan untuk perempuan. “Ibu-ibu ini terlihat kuat, padahal paling rentan. Mereka lebih nyaman curhat dengan sesama perempuan,” ujarnya.
Meryl kembali menekan Pemprov Sumut untuk aktif meminta dukungan pemerintah pusat, termasuk penetapan status bencana nasional.
“Bantuan berdatangan, tapi setelah dua minggu ini fokus kita bukan lagi cepat tanggap, melainkan pemulihan. Tanpa dukungan pusat, Sumut tidak akan mampu,” tegasnya.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa perlindungan perempuan dalam bencana bukan hanya menyelamatkan satu kelompok, tetapi memperkuat ketahanan masyarakat secara keseluruhan. DB
.webp)