Breaking News

Hakim Tegaskan Dalih Amal Djuyamto Berbahaya

 

(Foto : Kompas.com)

CARIFAKTA.COM – JAKARTA. Majelis hakim menegaskan bahwa klaim pembenar dari kubu hakim nonaktif Djuyamto terkait penggunaan uang suap untuk kegiatan amal merupakan pemikiran yang keliru dan berbahaya. Pernyataan itu disampaikan dalam pertimbangan putusan sebelum Djuyamto dijatuhi vonis 11 tahun penjara dalam kasus suap tiga korporasi crude palm oil (CPO).

“Bahwa dalil penasihat hukum yang menyatakan penggunaan uang untuk kegiatan sosial budaya yang menunjukkan terdakwa tidak serakah atau materialistis justru keliru dan berbahaya,” ujar Hakim Ketua Effendi saat sidang di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025).

Majelis hakim yang terdiri atas Effendi, Adek Nurhadi, dan Andi Saputra menilai pola pikir tersebut dapat menimbulkan preseden negatif bagi penegakan hukum. Jika diterima, pelaku korupsi ke depan berpotensi menjadikan kegiatan amal sebagai tameng untuk mengurangi hukuman.

“Jika dalil ini diterima, maka akan membuka preseden bahwa pelaku korupsi dapat mengurangi hukumannya dengan cara menggunakan uang hasil korupsi untuk kegiatan amal,” imbuh Effendi.

Majelis hakim bahkan mengingatkan kemungkinan munculnya praktik baru, yakni koruptor yang sengaja membangun masjid atau melakukan kegiatan sosial besar-besaran demi meringankan hukuman. Sementara, koruptor lain yang tidak melakukan hal serupa justru dihukum lebih berat meski bebannya sama.

Selain itu, penggunaan dana korupsi untuk kegiatan sosial budaya disebut sering menjadi modus pencucian uang. “Dalam berbagai kasus, penggunaan uang hasil suap untuk kegiatan sosial budaya yang dilakukan secara terbuka justru menunjukkan upaya menutupi asal-usul uang haram,” lanjutnya.

Djuyamto Disebut Sadar Uang Itu Suap

Majelis hakim menilai bahwa sejak awal Djuyamto mengetahui uang yang diterimanya adalah suap. Penggunaan dana tersebut untuk kegiatan amal justru dianggap sebagai cara untuk “membersihkan” uang tersebut di mata publik.

“Terdakwa menyadari bahwa uang tersebut adalah uang haram yang harus dibersihkan melalui cara-cara yang dapat diterima masyarakat,” tegas Effendi.

Dalam pleidoi pribadinya, Djuyamto mengaku menggunakan dana suap untuk mendukung kegiatan organisasi keagamaan dan budaya. Ia menyebut telah menggelontorkan Rp 1,6 miliar untuk empat pagelaran Wayang Babad Kartasura serta pelestarian keris pusaka.

Tanah yang rencananya akan menjadi gedung kantor MWC NU Kartasura pun dijual kembali setelah kasus terungkap. Hasil penjualannya diserahkan ke negara sebagai bagian dari pengembalian uang suap.

Deretan Vonis dan Jumlah Suap

Dalam perkara ini, Djuyamto bersama empat terdakwa lain dinyatakan melanggar Pasal 6 Ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Berikut putusan para terdakwa:

  • Djuyamto: 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan; terbukti menerima ± Rp 9,2 miliar

  • Agam Syarif Baharudin (hakim anggota): 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta; menerima ± Rp 6,4 miliar

  • Ali Muhtarom (hakim anggota): 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta; menerima ± Rp 6,4 miliar

  • Muhammad Arif Nuryanta (eks Ketua PN Jaksel): 12,5 tahun penjara, denda Rp 500 juta; menerima ± Rp 14,7 miliar

  • Wahyu Gunawan (panitera muda PN Jakut): 11,5 tahun penjara, denda Rp 500 juta; menerima setara Rp 2,3 miliar

Putusan ini semakin menegaskan bahwa pengadilan tidak menerima penggunaan kegiatan amal sebagai alasan pemaaf, sekaligus memperingatkan bahwa segala bentuk pembenaran atas penggunaan uang suap akan menjadi ancaman serius bagi penegakan hukum. DB

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close